TP3 Kota Semarang Tuai Kontroversi; Kepentingan Politik atau Percepatan Pembangunan?

Blog23 Dilihat

SEMARANG – Cyberonenews.com – Kebijakan Wali Kota Semarang Agustina Wilujeng Pramestuti terkait pembentukan Tim Percepatan dan Pengendalian Pembangunan (TP3) menuai kontroversi. Keputusan tersebut diambil hanya lima hari setelah dirinya resmi dilantik pada 20 Februari 2025 lalu.

Melalui Peraturan Wali Kota (Perwal) No. 10 Tahun 2025, TP3 dibentuk dengan tujuan mempercepat pembangunan di Kota Semarang. Namun, langkah ini justru memantik kritik keras dari berbagai kalangan, mulai dari aktivis LSM hingga pengamat kebijakan publik.

Ketua LSM Satrio Pandawa Lima, Didik Agus Riyanto, menilai pembentukan TP3 lebih mencerminkan kepentingan politik ketimbang percepatan pembangunan. “Semarang gelap, bukan Semarang hebat,” sindir Didik, menekankan bahwa kondisi kota saat ini belum menunjukkan perubahan yang menjanjikan.

Kontroversi kian menguat setelah diketahui bahwa empat anggota TP3 merupakan eks tim sukses Wali Kota Agustina saat Pilkada. Mereka mendapat fasilitas setara pejabat tinggi, termasuk gaji di atas kepala dinas dan mobil dinas, yang semuanya dibebankan kepada Bappeda Kota Semarang.

Didik mengkhawatirkan penggunaan APBD untuk TP3 akan membebani keuangan daerah. “Apakah ini nanti tidak menjadi beban buat Bappeda selama lima tahun ke depan karena Bappeda harus mengeluarkan anggaran di atas 200 juta dan imbasnya nanti akan ada kenaikan pajak dan rakyat yang terdampak,” tegasnya, Selasa (1/7/2025).

Dari aspek hukum, keberadaan TP3 dinilai tidak memiliki landasan yang kuat. Menurut Didik, pembentukan tim seharusnya merujuk pada UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Jika TP3 melakukan intervensi administratif tanpa dasar hukum, maka tindakan itu bisa melanggar kewenangan struktural birokrasi.

Selain itu, TP3 terancam dianggap inkonstitusional bila tidak tercantum dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD). Hal ini bisa menimbulkan ketidakpastian dalam perencanaan pembangunan kota dan membuka celah potensi sengketa hukum.

Aspek tata kelola pemerintahan juga menjadi sorotan. Mekanisme pengangkatan anggota TP3 dinilai tidak transparan karena tidak melalui prosedur yang terbuka. Ketertutupan ini dianggap melanggar prinsip good governance yang menuntut akuntabilitas dan keterbukaan di setiap kebijakan publik.

Kehadiran TP3 memicu keresahan di internal Pemkot Semarang. ASN dan birokrat senior merasa dilewati dalam proses perencanaan kebijakan, sehingga memicu ketegangan dan resistensi di lingkup pemerintahan kota. Sikap arogan yang ditampilkan TP3 semakin memperparah situasi.

Secara sosial-politik, kepercayaan masyarakat kepada Wali Kota Agustina mulai tergerus. Masyarakat menilai Wali Kota tidak mampu mengendalikan timnya sendiri, bahkan terkesan “dikendalikan” oleh TP3. Persepsi ini berpotensi menurunkan legitimasi kepemimpinannya.

Sebagai solusi, Didik mendorong agar dilakukan audit legalitas dan fungsi TP3 dengan melibatkan tim independen yang terdiri dari akademisi hukum, BPKP, atau Inspektorat. Hal ini diperlukan untuk menilai urgensi pembentukan TP3 dan memastikan tidak terjadi pelanggaran hukum.

“Jika terbukti ada pelampauan kewenangan, Wali Kota harus mencabut atau merevisi Perwal TP3. Juga penting menggelar dialog terbuka dengan ASN, tokoh masyarakat, dan stakeholder lokal agar semua pihak memahami maksud kebijakan ini dan tidak menimbulkan kecurigaan lebih luas,” pungkas Didik.

#PB

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *