Miris ; Praktik Pembagian Usulan Dewan Lama dan Baru di DPRD Kalbar Dinilai Ilegal, Bappeda Diduga Terlibat Diskriminasi Anggaran

Blog55 Dilihat

KALIMANTAN BARAT PONTIANAKCyber One News, 5 Juni 2025.

Tim investigasi media memperoleh dan mengonfirmasi beredarnya pesan WhatsApp dari seorang admin internal Bappeda yang menyampaikan bahwa usulan kegiatan dari anggota DPRD Provinsi Kalbar yang baru dilantik tidak dapat diproses dalam perubahan APBD sebelum ada pembagian data dari anggota DPRD sebelumnya.

Pesan tersebut menjadi sumber kehebohan di kalangan legislatif dan birokrat lokal, karena *mengindikasikan bahwa usulan pembangunan diperlakukan sebagai milik pribadi anggota dewan* , bukan sebagai hasil sistem perencanaan yang melekat pada lembaga DPRD secara kelembagaan.

Isi Pesan yang Dipermasalahkan.

Berikut isi pesan WA yang dikonfirmasi oleh sejumlah staf legislatif dan pihak eksekutif:

“Izin menginformasikan untuk anggota dewan yang baru naik/menggantikan dewan yang lama, bahwa usulan belum dapat diproses pada perubahan dikarenakan masih terkendala terkait data yang akan dibagi antara dewan lama dan dewan yang baru. Mohon jika sudah ada pembagian agar dikirim softcopy-nya kepada saya atau Sdr. Heru Suyutdi.”

Pesan tersebut secara tidak langsung mengakui bahwa usulan program pembangunan ditahan dan hanya dapat diproses jika terjadi serah-terima tidak resmi antar anggota dewan. Hal ini, menurut sejumlah ahli hukum, bertentangan dengan asas netralitas dan profesionalisme birokrasi.

Dugaan Pelanggaran Regulasi dan Etika Pemerintahan

Praktik ini diduga *melanggar berbagai ketentuan hukum dan pedoman perencanaan* antara lain:

* *Permendagri No. 86 Tahun 2017 Pasal 80,* yang menyatakan bahwa usulan pembangunan masuk melalui sistem perencanaan teknokratik dan partisipatif, bukan personal.

* *Peraturan KPK RI* dalam *Kajian Sistem Perencanaan dan Penganggaran*, yang menegaskan bahwa personalisasi usulan merupakan salah satu bentuk penyimpangan birokrasi yang membuka ruang korupsi.

* *UU No. 23 Tahun 2014* tentang Pemerintahan Daerah, yang menjamin bahwa kebijakan pembangunan harus berbasis kebutuhan masyarakat, bukan relasi personal elite politik.

* *Prinsip akuntabilitas anggaran* yang dilindungi oleh UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara.

Komentar Pengamat dan Tokoh Masyarakat.

Anto:  pengamat administrasi publik dari Universitas di Kalbar menyebutkan bahwa praktik ini adalah bentuk pemiskinan fungsi kelembagaan DPRD.

“Kalau usulan program hanya bisa diproses kalau ada ‘izin’ dari dewan lama, ini berarti sistem kita sudah terinfeksi feodalisme birokrasi. Bappeda tidak boleh menjadi bagian dari itu.”

Sementara itu, Arief , aktivis anti-korupsi dari Kalbar mengatakan bahwa kebijakan ini berbahaya dan membuka ruang praktik jual beli usulan.

“Kalau dewan baru harus dapat restu atau data dari dewan lama untuk usulan berjalan, maka jelas ini bukan lagi soal administrasi, ini soal transaksional politik. Bisa jadi ‘data’ itu jadi komoditas.”

Respon DPRD dan Bappeda Belum Jelas

Sampai berita ini diterbitkan, pihak Sekretariat DPRD Provinsi Kalbar belum memberikan pernyataan resmi. Beberapa anggota DPRD baru yang enggan disebut nama nya dihubungi mengakui kebingungan dengan sistem tersebut, dan menyebut proses serah-terima pokok pikiran *tidak pernah dijelaskan secara formal.

Sementara itu, sumber internal di Bappeda Kalbar yang tak ingin disebutkan namanya mengatakan bahwa arahan itu memang beredar di internal dan disebut sebagai “prosedur kebiasaan.

Desakan Transparansi dan Investigasi

*Koalisi masyarakat sipil mendesak agar :*

1. *Gubernur dan wakil Gubernur Kalbar harus turun tangan mengevaluasi Bappeda dan memastikan netralitasnya dikembalikan.**

2. *Ketua DPRD menyatakan secara terbuka bahwa pokok-pokok pikiran DPRD bukan hak milik individu anggota dewan.*

3. *KPK dan Kemendagri diminta segera melakukan audit terhadap sistem perencanaan di Kalbar*, khususnya pada proses perubahan anggaran yang sedang berlangsung.

Program Publik Bukan Milik Pribadi

Publik perlu mengingat bahwa *anggaran publik adalah milik rakyat, bukan properti politik yang diwariskan antar individu. Jika sistem pemerintahan mulai menoleransi kontrol informal atas proses pembangunan, maka tata kelola daerah akan berubah menjadi arena transaksi kepentingan, bukan pelayanan publik.( Danil )

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *